Pemkot Pekalongan Perkuat Kolaborasi Stakeholder dalam Penanggulangan Kemiskinan

Kota Pekalongan – Pemerintah Kota Pekalongan terus berkomitmen menekan angka kemiskinan melalui kolaborasi lintas sektor. Hal ini ditegaskan dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Kota Pekalongan Tahun 2025 yang digelar di Ruang Buketan Setda Kota Pekalongan, Kamis siang (26/6/2025). Rakor tersebut dihadiri oleh berbagai unsur masyarakat, mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi perempuan, hingga lembaga keuangan.
Wakil Wali Kota Pekalongan, Hj. Balgis Diab, yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Kota Pekalongan, memimpin langsung kegiatan tersebut. Ia menekankan bahwa pengentasan kemiskinan merupakan tanggung jawab bersama, bukan semata-mata menjadi beban pemerintah.
"Permasalahan kemiskinan tidak bisa diatasi oleh pemerintah saja, tapi membutuhkan sinergi dari seluruh stakeholder termasuk tokoh masyarakat, organisasi perempuan, tokoh agama, hingga lembaga keuangan. Oleh karena itu, kami undang semua pihak ini agar bisa duduk bersama, menyamakan visi, dan memberikan formula terbaik untuk percepatan penanggulangan kemiskinan di Kota Pekalongan,” tegas Balgis.
Dirinya menjelaskan bahwa Pemkot Pekalongan selama ini telah menjalankan berbagai program untuk menekan angka kemiskinan. Beberapa di antaranya adalah pengalokasian anggaran khusus untuk penanggulangan kemiskinan, pelatihan dan pemberdayaan masyarakat, bantuan modal usaha bagi warga miskin serta pelatihan kewirausahaan.
“Kami berharap, melalui Rakor ini para peserta bisa ikut berkontribusi secara aktif dan menjadi duta-duta penanggulangan kemiskinan di lingkungannya masing-masing. Sinergi dan kolaborasi menjadi kunci utama,” imbuhnya.
Kepala Bapperida Kota Pekalongan, Cayekti Widigdo, menyampaikan bahwa meskipun angka kemiskinan mengalami penurunan, namun lajunya belum signifikan. Berdasarkan data, angka kemiskinan di Kota Pekalongan pada tahun 2023 berada di angka 6,81%. Di tahun 2024, turun menjadi 6,71%. Pemkot menargetkan angka ini bisa turun hingga menyentuh angka 5 persen lebih sedikit pada tahun 2025.
“Secara prosentase memang turun, tapi hanya 0,1%. Saat ini masih ada sekitar 18.000 warga Kota Pekalongan yang berada di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, kita butuh strategi baru. Program sudah banyak, semua OPD sudah turun, tinggal bagaimana kita menyempurnakan strategi, termasuk perbaikan pada sisi data dan pemberdayaan,” ujar Cayekti.
Ia mengakui bahwa, persoalan data selama ini menjadi hambatan dalam optimalisasi program. Beberapa kali Pemkot mengusulkan pembaruan data, namun data yang diturunkan dari Pemerintah Pusat kerap tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Kini, Pemerintah Pusat tengah mengembangkan sistem Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), yang diharapkan bisa menyatukan semua data dari berbagai kementerian.
“Dulu kita kenal DTKS, lalu muncul P3KE. Sekarang semua data itu akan dilebur ke dalam DTSEN. Proses penjaringan DTSEN ini sudah dimulai akhir 2023, dan saat ini masih dalam proses penyampaian dari BPS ke Bappenas. Kita harap, data ini nantinya bisa dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah agar lebih presisi dalam menyalurkan bantuan dan merancang program pemberdayaan,” jelasnya.
Cayekti juga menjelaskan bahwa, Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan dua aspek dalam menentukan garis kemiskinan, yaitu dari sisi konsumsi makanan dan non-makanan. Aspek non-makanan meliputi kondisi rumah, pengeluaran untuk pendidikan, akses terhadap layanan kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya.
“Di Kota Pekalongan, penduduk dikategorikan miskin jika memiliki penghasilan di bawah Rp605.000 per orang per bulan. Namun tentu saja, angka ini tidak cukup untuk menangkap kompleksitas kemiskinan. Karena itu, pendekatannya harus komprehensif, tidak hanya melihat dari jumlah uang, tetapi juga kemampuan mengakses pelayanan dasar dan peluang usaha,” tegasnya.
Ia berharap, masyarakat yang miskin tidak hanya menjadi objek penerima bantuan, melainkan didorong menjadi subjek yang aktif dalam pembangunan.
“Miskin tidak harus dikasihani, tetapi perlu didorong agar mereka bisa berdaya,” tandasnya. (Tim Liputan Kominfo/Dian)