LP-PAR Ingin Tekan Kasus Kekerasan Berbasis Gender dan Anak

Kota Pekalongan - Lembaga Perlindungan Perempuan Anak dan Remaja (LP-PAR) Kota Pekalongan ingin menekan kasus kekerasan berbasis gender dan anak melalui sosialisasi pengasuhan positif, deklarasi Sekolah Ramah Anak (SRA), dan edukasi lainnya. Pasalnya adanya pandemi Covid-19 dengan penerapan social distancing dan physical distancing yang meminimalkan interaksi tak membuat kasus kekerasan menurun, bahkan di kancah nasional data kasus yang mencuat bobot kekerasannya lebih berat.
Kepala LP-PAR Kota Pekalongan, Nur Agustina SPsi MM saat diwawancarai di Ruang Amarta Setda Kota Pekalongan, beberapa waktu yang lalu menyampaikan data kasus kekerasan berbasis gender dan anak di Kota Pekalongan. "Kami catat kasus sejak 2006 sampai sekarang. Awal kami bantu untuk yang kasus berbasis gender atau dewasa itu cukup tinggi dibanding anak, tetapi begitu tahun 2012 kasus kekerasan anak meningkat," terang Agustin.
Agustin menyebutkan, data kasus tahun 2019 yang masih tinggi yang berbasis gender, kasus gender 24 dan anak 20 kasus. Kemudian saat pandemi tahun 2020 kasus berbasis gender 25 dan anak 14 kasus. "Pada tahun 2021 ini, belum tutup tahun ada 11 kasus yang berbasis gender 11 dan 7 kasus anak," papar Agustin.
Agustin awalnya mengira tak akan ada kasus kekerasan berbasis gender atau anak melihat terbatasnya interaksi di masyarakat. Ternyata kasusnya tetap ada bahkan laporan di beberapa daerah sebagai gambaran mikro di tingkat nasional pun sama ternyata kasusnya mencuat dengan bobot kasus yang berat. "Kasus kekerasan pada anak yang terjadi pelakunya kebanyakan orang terdekat bahkan orang tua yang notabene memberi perlindungan," terang Agustin.
Agustin mengaku cukup lama memberikan pendampingan hukum, psikologi, sosial ekonomi dan sebagainya. Menurut Agustin pemicu masalah kekerasan berbasis gender dan anaknya adalah faktor ekonomi dan SDM. "Masyarakat yang miskin dan pendidikan rendah rentan dengan kasus kekerasan. Mungkin saja karena mereka tak mampu memberikan edukasi kepada putera-puterinya sehingga anak tak paham modus-modus kekerasan dan pelecehan seksual. Ditambah lagi pendidikan di sekolah yang minim," beber Agustin.
Agustin ingin menekankan Kota Layak Anak melalui pendidikan, pelatihan, dan pemanfaatan waktu luang. Salah satu indikatornya yakni setiap sekolah harus menjadi SRA sehingga para pendidik juga memberikan perlindungan kepada peserta didiknya dengan bekal pendidikan seks, anti bulying, dan lain-lain. "Karena kejadian kekerasan tak hanya di sekolah bisa saja di rumah atau di lingkungan masyarakat maka sosialisasi di level RT dan RW tentang pengasuhan positif juga dilakukan," pungkas Agustin.
(Tim Komunikasi Publik Dinkominfo Kota Pekalongan)
Kepala LP-PAR Kota Pekalongan, Nur Agustina SPsi MM saat diwawancarai di Ruang Amarta Setda Kota Pekalongan, beberapa waktu yang lalu menyampaikan data kasus kekerasan berbasis gender dan anak di Kota Pekalongan. "Kami catat kasus sejak 2006 sampai sekarang. Awal kami bantu untuk yang kasus berbasis gender atau dewasa itu cukup tinggi dibanding anak, tetapi begitu tahun 2012 kasus kekerasan anak meningkat," terang Agustin.
Agustin menyebutkan, data kasus tahun 2019 yang masih tinggi yang berbasis gender, kasus gender 24 dan anak 20 kasus. Kemudian saat pandemi tahun 2020 kasus berbasis gender 25 dan anak 14 kasus. "Pada tahun 2021 ini, belum tutup tahun ada 11 kasus yang berbasis gender 11 dan 7 kasus anak," papar Agustin.
Agustin awalnya mengira tak akan ada kasus kekerasan berbasis gender atau anak melihat terbatasnya interaksi di masyarakat. Ternyata kasusnya tetap ada bahkan laporan di beberapa daerah sebagai gambaran mikro di tingkat nasional pun sama ternyata kasusnya mencuat dengan bobot kasus yang berat. "Kasus kekerasan pada anak yang terjadi pelakunya kebanyakan orang terdekat bahkan orang tua yang notabene memberi perlindungan," terang Agustin.
Agustin mengaku cukup lama memberikan pendampingan hukum, psikologi, sosial ekonomi dan sebagainya. Menurut Agustin pemicu masalah kekerasan berbasis gender dan anaknya adalah faktor ekonomi dan SDM. "Masyarakat yang miskin dan pendidikan rendah rentan dengan kasus kekerasan. Mungkin saja karena mereka tak mampu memberikan edukasi kepada putera-puterinya sehingga anak tak paham modus-modus kekerasan dan pelecehan seksual. Ditambah lagi pendidikan di sekolah yang minim," beber Agustin.
Agustin ingin menekankan Kota Layak Anak melalui pendidikan, pelatihan, dan pemanfaatan waktu luang. Salah satu indikatornya yakni setiap sekolah harus menjadi SRA sehingga para pendidik juga memberikan perlindungan kepada peserta didiknya dengan bekal pendidikan seks, anti bulying, dan lain-lain. "Karena kejadian kekerasan tak hanya di sekolah bisa saja di rumah atau di lingkungan masyarakat maka sosialisasi di level RT dan RW tentang pengasuhan positif juga dilakukan," pungkas Agustin.
(Tim Komunikasi Publik Dinkominfo Kota Pekalongan)