Kilas Balik Sarung Batik Pekalongan di Mata Sang Budayawan

Kota Pekalongan- Hubungan Indonesia dengan negara Timur Tengah terutama Yaman mempengaruhi penggunaan sarung di Indonesia khususnya di Kota Pekalongan. Berawal dari para Mubaligh dari Yaman yang datang ke Indonesia, mereka ada yang membawa oleh-oleh salah satunya sekarang yang dikenal dengan nama sarung, namun dulu sarung hanya bercorak satu warna yaitu kain putih yang diwarnai.
Seperti yang disampaikan KH Ahmad Marzuqi,MPd selaku budayawan sekaligus Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Pekalongan saat diwawancarai di kediamannya, belum lama ini.
“Waktu itu belum terbentuk negara Indonesia, dulu hanya berbentuk pulau-pulau saja. Proses jual beli antar pulau sebelum Indonesia ada dengan menggunakan kapal, kala itu sudah berjalan dengan baik dan menjadikan sarung mudah menyebar dengan pesat. Semakin kesini, perkembangan warna pada sarung di pengaruhi oleh masing-masing daerah, diantara lain sarung Donggala, sarung Samarinda, sarung Bugis, sarung Batak, sarung Jepara, sarung Betawi dan penggunaanya pun berbeda-beda,” ungkap Marzuqi.
Marzuqi melanjutkan, walaupun tidak bergelut di bidang kesenian, namun di tangan kreatif masyarakat Kota Pekalongan dan didukung imajinasi yang tinggi, tercipta sebuah karya batik pada selembar kain yang cantik dengan beragam corak. Menurut Marzuki, di era Presiden Soekarno, industri batik di Kota Pekalongan mendapat angin segar dimana saat itu batik menjadi semakin marak digunakan, bahkan ada catatan yang mengatakan bahwa batik bisa menyumbang negara sekitar Rp.1,4 Milyar dari hasil produksi batik tersebut.
"Setelah batik mengalami kemajuan yang sangat pesat sekaligus dengan sarung yang dulunya hanya bermotif kotak-kotak, dengan berjalannya waktu, pengrajin batik Pekalongan membuat sarung bermotif batik. Pembuatan sarung batik pertama kali tidak selesai hanya satu sampai dua hari saja, namun membutuhkan waktu sampai berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun karena proses yang panjang dalam pembuatannya," papar Marzuqi.
Sedangkan di masa orde baru, lanjut Marzuqi, sarung mengalami penyusutan. Yang dulunya biasa menggunakan sarung, sekarang sudah berkurang terutama para anak muda yang kini hampir melupakan sarung batik. Marzuqi berpesan, agar pemerintah mengumpulkan para pengrajin, pengusaha, pemerhati batik untuk di ajak bicara dan mencari solusi agar sarung batik ini semakin maju.
"Perhatian pemerintah terhadap batik sangatlah luar biasa, tidak hanya pada masyarakat kecil tapi sudah masuk pada dunia pendidikan di Kota Pekalongan. Mungkin suatu ketika Pemerintah Kota Pekalongan mengadakan pertemuan para pengusaha, pemerhati batik agar kedepannya sarung batik Pekalongan bisa lebih maju dan sarung batik tidak hanya dipakai oleh kita saja, namun seluruh dunia memakai sarung batik asal Kota Pekalongan," pungkas Marzuqi.
(Tim Komunikasi Publik Dinkominfo Kota Pekalongan)
Seperti yang disampaikan KH Ahmad Marzuqi,MPd selaku budayawan sekaligus Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Pekalongan saat diwawancarai di kediamannya, belum lama ini.
“Waktu itu belum terbentuk negara Indonesia, dulu hanya berbentuk pulau-pulau saja. Proses jual beli antar pulau sebelum Indonesia ada dengan menggunakan kapal, kala itu sudah berjalan dengan baik dan menjadikan sarung mudah menyebar dengan pesat. Semakin kesini, perkembangan warna pada sarung di pengaruhi oleh masing-masing daerah, diantara lain sarung Donggala, sarung Samarinda, sarung Bugis, sarung Batak, sarung Jepara, sarung Betawi dan penggunaanya pun berbeda-beda,” ungkap Marzuqi.
Marzuqi melanjutkan, walaupun tidak bergelut di bidang kesenian, namun di tangan kreatif masyarakat Kota Pekalongan dan didukung imajinasi yang tinggi, tercipta sebuah karya batik pada selembar kain yang cantik dengan beragam corak. Menurut Marzuki, di era Presiden Soekarno, industri batik di Kota Pekalongan mendapat angin segar dimana saat itu batik menjadi semakin marak digunakan, bahkan ada catatan yang mengatakan bahwa batik bisa menyumbang negara sekitar Rp.1,4 Milyar dari hasil produksi batik tersebut.
"Setelah batik mengalami kemajuan yang sangat pesat sekaligus dengan sarung yang dulunya hanya bermotif kotak-kotak, dengan berjalannya waktu, pengrajin batik Pekalongan membuat sarung bermotif batik. Pembuatan sarung batik pertama kali tidak selesai hanya satu sampai dua hari saja, namun membutuhkan waktu sampai berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun karena proses yang panjang dalam pembuatannya," papar Marzuqi.
Sedangkan di masa orde baru, lanjut Marzuqi, sarung mengalami penyusutan. Yang dulunya biasa menggunakan sarung, sekarang sudah berkurang terutama para anak muda yang kini hampir melupakan sarung batik. Marzuqi berpesan, agar pemerintah mengumpulkan para pengrajin, pengusaha, pemerhati batik untuk di ajak bicara dan mencari solusi agar sarung batik ini semakin maju.
"Perhatian pemerintah terhadap batik sangatlah luar biasa, tidak hanya pada masyarakat kecil tapi sudah masuk pada dunia pendidikan di Kota Pekalongan. Mungkin suatu ketika Pemerintah Kota Pekalongan mengadakan pertemuan para pengusaha, pemerhati batik agar kedepannya sarung batik Pekalongan bisa lebih maju dan sarung batik tidak hanya dipakai oleh kita saja, namun seluruh dunia memakai sarung batik asal Kota Pekalongan," pungkas Marzuqi.
(Tim Komunikasi Publik Dinkominfo Kota Pekalongan)