Delegasi 20 Negara Dikenalkan Potensi Lokal Batik Kota Pekalongan

Wilayah Pesisir Utara Kota Pekalongan, Jawa Tengah mendapat perhatian khusus adanya pendanaan Adaptation Fund yang dikelola oleh Kemitraan Indonesia. Dalam program tersebut, Kemitraan Indonesia melibatkan para delegasi dari 20 negara asing diantaranya dari Argentina, Armenia, Chile, Kenya, India, Bhutan, dan negara lainnya. Disamping meninjau dan mengidentifikasi permasalahan dan penanganan fisik secara langsung atas adanya perubahan iklim yang terjadi, mereka juga belajar mengenal berbagai macam potensi unggulan lokal yang ada di Kota Pekalongan, salah satunya batik yang menjadi mayoritas mata pencaharian (livehood) masyarakat lokal di Kota Pekalongan.
Puluhan perwakilan negara dari benua Afrika, Asia, dan Amerika ini terlihat sangat antusias selama pamong budaya maupun pemandu wisata yang ada di Museum Batik tersebut menjelaskan berbagai jenis kain batik khas Nusantara dan mengajarinya praktek membatik.
Direktur Program Kemitraan Indonesia, Dewi Rizky menyampaikan bahwa, dari kegiatan edukasi di Museum Batik ini, para delegasi 20 negara bisa memahami beragam corak batik yang ada di Indonesia khususnya batik khas Kota Pekalongan dan pemanfaatan pewarna alami.
"Disamping mengedukasi para delegasi negara ini, nanti Kemitraan juga akan melatih 400 orang pembatik di Kota Pekalongan dengan menggunakan pewarna alami," tutur Dewi.
Menurutnya, dari kegiatan pengenalan potensi unggulan lokal daerah di program Adaptation Fund ini, diharapkan negara-negara yang datang berkunjung ke Kota Pekalongan ini bisa nelihat dan memahami serangkaian proses membatik sebagai warisan budaya bangsa yang harus terus dilestarikan mulai dari bahan dan alat, jenis-jenis kain dan corak, hingga teknik-teknik membatik.
"Mereka ikut berlatih praktek membatik secara langsung sehingga mereka paham bagaimana proses membatik itu sendiri, terutama pemanfaatan pewarna alami. Tujuan dari proyek Adaptation Fund ini juga sebenarnya agar bisa meningkatkan potensi masyarakat lokal di Kota Pekalongan untuk terus menggunakan pewarna alami. Sebab, nantinya produksi batik mereka bisa memiliki harga yang memang premium dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat," harapnya.
Communication Officer Adaptation Fund, Matthew mengaku senang bisa terlibat dan membawa para delegasi 20 negara asing penerima dana Adaptation Fund untuk belajar bersama mengenal dan praktek langsung membatik di Museum Batik Kota Pekalongan.
"Ternyata proses membatik itu cukup sulit, posisi tangan memegang canting harus benar, karena apabila kurang tepat malam yang sudah dipanaskan untuk diaplikasikan ke kain mori bisa tumpah dan mengenai tangan atau baju kalau kita kurang hati-hati," tutur Matthew.
Hal senada juga disampaikan delegasi dari negara Tanzania, Genoveva Mashenene, bahwa ia begitu takjub dan senang bisa mengenal potensi wisata lokal Kota Pekalongan, salah satunya Museum Batik ini. Ia mengaku, dari kain mori hingga tercipta aneka ragam corak batik yang begitu indah prosesnya begitu rumit dan membutuhkan waktu.
"Senang sekali bisa praktek membatik secara langsung. Ini pengalaman pertama Saya bisa belajar membatik yang ternyata tidak mudah prosesnya. Saya juga menyempatkan membeli beberapa batik hasil UMKM yang ada di ruang pamer Dekranasda Kota Pekalongan yang lokasinya ada di dalam Museum Batik Pekalongan ini," pungkas Genoveva.
Puluhan perwakilan negara dari benua Afrika, Asia, dan Amerika ini terlihat sangat antusias selama pamong budaya maupun pemandu wisata yang ada di Museum Batik tersebut menjelaskan berbagai jenis kain batik khas Nusantara dan mengajarinya praktek membatik.
Direktur Program Kemitraan Indonesia, Dewi Rizky menyampaikan bahwa, dari kegiatan edukasi di Museum Batik ini, para delegasi 20 negara bisa memahami beragam corak batik yang ada di Indonesia khususnya batik khas Kota Pekalongan dan pemanfaatan pewarna alami.
"Disamping mengedukasi para delegasi negara ini, nanti Kemitraan juga akan melatih 400 orang pembatik di Kota Pekalongan dengan menggunakan pewarna alami," tutur Dewi.
Menurutnya, dari kegiatan pengenalan potensi unggulan lokal daerah di program Adaptation Fund ini, diharapkan negara-negara yang datang berkunjung ke Kota Pekalongan ini bisa nelihat dan memahami serangkaian proses membatik sebagai warisan budaya bangsa yang harus terus dilestarikan mulai dari bahan dan alat, jenis-jenis kain dan corak, hingga teknik-teknik membatik.
"Mereka ikut berlatih praktek membatik secara langsung sehingga mereka paham bagaimana proses membatik itu sendiri, terutama pemanfaatan pewarna alami. Tujuan dari proyek Adaptation Fund ini juga sebenarnya agar bisa meningkatkan potensi masyarakat lokal di Kota Pekalongan untuk terus menggunakan pewarna alami. Sebab, nantinya produksi batik mereka bisa memiliki harga yang memang premium dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat," harapnya.
Communication Officer Adaptation Fund, Matthew mengaku senang bisa terlibat dan membawa para delegasi 20 negara asing penerima dana Adaptation Fund untuk belajar bersama mengenal dan praktek langsung membatik di Museum Batik Kota Pekalongan.
"Ternyata proses membatik itu cukup sulit, posisi tangan memegang canting harus benar, karena apabila kurang tepat malam yang sudah dipanaskan untuk diaplikasikan ke kain mori bisa tumpah dan mengenai tangan atau baju kalau kita kurang hati-hati," tutur Matthew.
Hal senada juga disampaikan delegasi dari negara Tanzania, Genoveva Mashenene, bahwa ia begitu takjub dan senang bisa mengenal potensi wisata lokal Kota Pekalongan, salah satunya Museum Batik ini. Ia mengaku, dari kain mori hingga tercipta aneka ragam corak batik yang begitu indah prosesnya begitu rumit dan membutuhkan waktu.
"Senang sekali bisa praktek membatik secara langsung. Ini pengalaman pertama Saya bisa belajar membatik yang ternyata tidak mudah prosesnya. Saya juga menyempatkan membeli beberapa batik hasil UMKM yang ada di ruang pamer Dekranasda Kota Pekalongan yang lokasinya ada di dalam Museum Batik Pekalongan ini," pungkas Genoveva.