Cikal Batik Pekalongan Dipengaruhi oleh Peleburan Budaya Eropa, Tionghoa dan Gujarat

Kota Pekalongan terkenal dengan julukan World's City of Batik dan Kota Kreatif Dunia. Pasalnya, dalam setiap sendi kehidupan masyarakat setempat melekat erat dan tak terlepas dengan dunia perbatikan. Hampir 80% roda perekonomian masyarakat di Kota Batik tersebut ditumbuhkan lewat industri batik yang kian berkembang. Perjalanan cikal bakal batik di Kota Pekalongan tentu mendapatkan pengaruh budaya lain baik dari Eropa, Tionghoa, dan Gujarat baik dari ragam motif, warna, maupun social ekonomi, dan sebagainya. Hal tersebut tersebut dibahas dalam FGD Peleburan Budaya Indo-Eropa, Tionghoa, dan Gujarat pada Batik Pekalongan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Pekalongan bersama Komunitas Batik, bertempat di Aula Museum Batik Kota Pekalongan, Jumat (4/10/2019).
Disamping paparan secara historis, FGD kali ini juga menampilkan beberapa motif yang tercipta akibat dari peleburan budaya. Adapun peserta FGD merupakan segenap unsur lapisan masyarakat baik dari akademisi, penulis, jurnalis, dan pelaku pembatik di Kota Pekalongan. Sedangkan bertindak sebagai narasumber yakni pelaku industri sekaligus pecinta batik, Romy Okta Birawa, Sabine Bolk, seniman dan penulis blogger batik asal Belanda, dan Liem Pho Hin, pelaku industri batik keturunan Tionghoa.
Ketua Penyelenggara, Fajar Dewa mengungkapkan bahwa kegiatan FGD ini merupakan rangkaian memperingati Hari Batik Nasional (HBN) ke-10 Tahun 2019 di Kota Pekalongan.
“Kami ingin menekankan bahwa keragaman motif batik Pekalongan motif-motif nya banyak percampuran dari budaya luar lainnya, tidak hanya motifnya saja melainkan juga teknik, sosial budaya, kolonialisme, perdagangan. Saat ini kami mengangkat peleburan budaya Indo-Eropa, Tionghoa, dan Gujarat yang menjadikan batik Kota Pekalongan menjadi sangat iconic dan dikenal masyarakat luas,” jelas Dewa.
“Dari kultur dan budaya yang mereka bawa tersebut kerap berasimilasi dan berkolaborasi dengan tradisi budaya setempat. Seperti di Pekalongan, ada etnis Eropa, Cina, Arab dan India yang berbaur dan hidup rukun berdampingan bersama dengan etnis Jawa atau penduduk lokal sehingga melahirkan batik khas Pekalongan,” papar Dewa.
Dewa berharap kegiatan ini dapat memberikan gambaran informasi secara mendalam kepada masyarakat khususnya peserta FGD tentang perjalanan batik Pekalongan yang mengalami peleburan budaya sampai menghasilkan motif-motif yang saat ini dikenal oleh masyarakat luas.
Pelaku industri batik sekaligus narasumber, Romy Okta Birawa menerangkan bahwa asal mula Batik di Kota Pekalongan mulai ditemukan pada abad ke -19. Sehingga, literasi yang mengulas tentang budaya batik masih sangat minim ditulis.
“Kita menemukan batik di abad 19 sehingga kita lemah di literasi, adanya di Museum Laiden, batik ini kan berupa sehelai kain jadi terkadang pada sebelum abad ke-19 tidak ada yang masih awet, kebanyakan sudah usang, sehingga memang perlu adanya suatu gerakan yang menumbuhkan konsensi yang menghasilkan sebuah konsensus kesepakatan bersama mengenai pelestarian batik itu sendiri,” beber Romy.
Menurut Romy, batik sebagai warisan budaya, tidak hanya budayanya saja yang diunggulkan namun bagaimana meningkatkan pemasaran itu sendiri yang harus terus berjalan tanpa tergerus zaman sebagai upaya penguatan branding batik tersebut.
“Pengaruh budaya batik di Pekalongan awal mulanya didasarkan dari si pemesan atau bosnya, dulu pembatiknya orang Jawa tapi bosnya orang Belanda, atau sebaliknya, tidak ada semacam doktrinasi atau tekanan kamu harus membuat motif ini, tidak ada catatan dalam sejarah tetapi sesuai pesanan dari pelanggan, jika pelanggannya kebetulan orang Jepang inginnya motifnya ke Jepang-Jepangan seperti itu,” ujar Romy.
Lebih lanjut Romi juga menyampaikan, ciri khas dr batik Pekalongan terletak pada teknik pembuatan nya yakni menggunakan canting.
“Meskipun mengalami peleburan, namun dari teknik printang warna dengan menggunakan canting dan lilin panas (malam) itu sudah mencirikan Kota Pekalongan, kalau di India menggunakan cap yang tidak menggunakan lilin panas. Akulturasi terjadi setelah barang itu jadi, artinya peleburan budaya terjadi secara natural,” tandas Romy.
Disamping paparan secara historis, FGD kali ini juga menampilkan beberapa motif yang tercipta akibat dari peleburan budaya. Adapun peserta FGD merupakan segenap unsur lapisan masyarakat baik dari akademisi, penulis, jurnalis, dan pelaku pembatik di Kota Pekalongan. Sedangkan bertindak sebagai narasumber yakni pelaku industri sekaligus pecinta batik, Romy Okta Birawa, Sabine Bolk, seniman dan penulis blogger batik asal Belanda, dan Liem Pho Hin, pelaku industri batik keturunan Tionghoa.
Ketua Penyelenggara, Fajar Dewa mengungkapkan bahwa kegiatan FGD ini merupakan rangkaian memperingati Hari Batik Nasional (HBN) ke-10 Tahun 2019 di Kota Pekalongan.
“Kami ingin menekankan bahwa keragaman motif batik Pekalongan motif-motif nya banyak percampuran dari budaya luar lainnya, tidak hanya motifnya saja melainkan juga teknik, sosial budaya, kolonialisme, perdagangan. Saat ini kami mengangkat peleburan budaya Indo-Eropa, Tionghoa, dan Gujarat yang menjadikan batik Kota Pekalongan menjadi sangat iconic dan dikenal masyarakat luas,” jelas Dewa.
“Dari kultur dan budaya yang mereka bawa tersebut kerap berasimilasi dan berkolaborasi dengan tradisi budaya setempat. Seperti di Pekalongan, ada etnis Eropa, Cina, Arab dan India yang berbaur dan hidup rukun berdampingan bersama dengan etnis Jawa atau penduduk lokal sehingga melahirkan batik khas Pekalongan,” papar Dewa.
Dewa berharap kegiatan ini dapat memberikan gambaran informasi secara mendalam kepada masyarakat khususnya peserta FGD tentang perjalanan batik Pekalongan yang mengalami peleburan budaya sampai menghasilkan motif-motif yang saat ini dikenal oleh masyarakat luas.
Pelaku industri batik sekaligus narasumber, Romy Okta Birawa menerangkan bahwa asal mula Batik di Kota Pekalongan mulai ditemukan pada abad ke -19. Sehingga, literasi yang mengulas tentang budaya batik masih sangat minim ditulis.
“Kita menemukan batik di abad 19 sehingga kita lemah di literasi, adanya di Museum Laiden, batik ini kan berupa sehelai kain jadi terkadang pada sebelum abad ke-19 tidak ada yang masih awet, kebanyakan sudah usang, sehingga memang perlu adanya suatu gerakan yang menumbuhkan konsensi yang menghasilkan sebuah konsensus kesepakatan bersama mengenai pelestarian batik itu sendiri,” beber Romy.
Menurut Romy, batik sebagai warisan budaya, tidak hanya budayanya saja yang diunggulkan namun bagaimana meningkatkan pemasaran itu sendiri yang harus terus berjalan tanpa tergerus zaman sebagai upaya penguatan branding batik tersebut.
“Pengaruh budaya batik di Pekalongan awal mulanya didasarkan dari si pemesan atau bosnya, dulu pembatiknya orang Jawa tapi bosnya orang Belanda, atau sebaliknya, tidak ada semacam doktrinasi atau tekanan kamu harus membuat motif ini, tidak ada catatan dalam sejarah tetapi sesuai pesanan dari pelanggan, jika pelanggannya kebetulan orang Jepang inginnya motifnya ke Jepang-Jepangan seperti itu,” ujar Romy.
Lebih lanjut Romi juga menyampaikan, ciri khas dr batik Pekalongan terletak pada teknik pembuatan nya yakni menggunakan canting.
“Meskipun mengalami peleburan, namun dari teknik printang warna dengan menggunakan canting dan lilin panas (malam) itu sudah mencirikan Kota Pekalongan, kalau di India menggunakan cap yang tidak menggunakan lilin panas. Akulturasi terjadi setelah barang itu jadi, artinya peleburan budaya terjadi secara natural,” tandas Romy.