Audiensi Pemkot, DPRD dan GNPK-RI Tepis Dugaan Kesalahan Pengadaan Obat Rumah Sakit Swasta

Kota Pekalongan - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama Pemerintah Kota Pekalongan dan instansi terkait lainnya melaksanakan kegiatan audiensi dengan Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi Republik Indonesia (GNPK-RI) Pekalongan, bertempat di Ruang Rapat Komisi A DPRD Kota Pekalongan, Senin (23/5/2022). Dalam kegiatan audiensi tersebut membahas dan menyelesaikan permasalahan terkait dugaan kegiatan pengadaan obat untuk satuan kerja pada dua Rumah Sakit Swasta ( Yayasan ) di Kota Pekalongan, yakni Rumah Sakit (RS) HA Djunaid dan RS Budi Rahayu. Permasalahan ini bermula dari temuan informasi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (disingkat LKPP) yang ditayangkan dalam RUP ( Rencana Umum Pembangunan ), dimana semula, dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) tercantum menggunakan APBD. Usai di pertanyakan oleh tim Investigasi direvisi menjadi bersumber dana dari BLUD ( Badan Layanan Umum Daerah ) total kurang-lebih sebesar Rp8,7 Milliar.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekalongan, Slamet Budiyanto menjelaskan bahwa, di Kota Pekalongan sendiri ada 8 rumah sakit swasta, pembinaan secara teknis kepada rumah sakit swasta berada di Dinas Kesehatan, namun tidak menyangkut pengeloaan keuangan. Berdasarkan Permenkes Nomor 5 Tahun 2019 bahwa, seluruh pengadaan obat yang ada di layanan kesehatan diharapkan dapat dikoordinir melalui e-monevnya Kementerian Kesehatan RI, karena seperti diketahui, pengadaan obat ini merupakan kebutuhan krusial bagi pelayanan kesehatan, agar jangan sampai ada kekurangan kebutuhan obat, baik itu di pelayanan kesehatan dasar maupun pelayanan kesehatan rujukan.

“Oleh karena itu, diharapkan melalui e-monev Kemenkes ini, kebutuhan obat selama satu tahun bisa diprediksi dan dikoordinasikan dengan segera bersama produsen obat. Jika ada kekurangan, produsen bisa meningkatkan kapasitasnya. Disamping kebutuhan secara global kaitannya kebutuhan obat selama satu tahun itu, terkait dengan BPJS Kesehatan saat ini pengadaan obat diharapkan sudah lewat e-catalogue, agar pembiayaan obat lebih efisien dan efektif. Sehingga, BPJS mensyaratkan bahwa, seluruh fasyankes yang bekerjasama dengan BPJS, penggunaan obatnya adalah berdasarkan yang tercantum di e-catalogue,” terang Budi.

Di dalam implementasi Permenkes tersebut, perencanaan maupun pengadaan obat tersebut karena menggunakan e-monev dan e-catalogue, maka pengadaan itu mau tidak mau harus menggunakan mekanisme sistem yang ada. Dari tahun 2019 itu tidak langsung bisa diimplementasikan, karena ada beberapa kendala teknis, dan baru tahun 2022 ini, ada beberapa rumah sakit yang sudah berhasil pengadaan obat melalui e-catalogue.

“BPJS ini secara ketat ketika rumah sakit ini dalam melakukan klaim pembiayaan itupun yang dihitung adalah pembiayaan yang tercantum dalam e-catalogue tersebut. Meskipun, misalnya rumah sakit belum berhasil mengadakan obat dengan yang tercantum di e-catalogue, sehingga rumah sakit tersebut disarankan menggunakan obat di luar e-catalogue, tetapi BPJS menggantinya hanya sesuai yang di e-catalogue. Sehingga, sejatinya hal ini merugikan rumah sakit kalau gantinya di luar e-catalogue, sebab biasanya harga di e-catalogue lebih rendah dibandingkan biaya obat-obat yang di pasaran. Mau tidak mau, rumah sakit ini harus bisa mengadakan obat melalui e-catalogue untuk mengurangi resiko kerugian ketika gantinya lebih rendah dibandingkan harga obat yang sebenarnya diberikan ke pasien,” papar Budi.

Kabag PBJ Minbang Setda Kota Pekalongan, Slamet Mulyadi memaparkan bahwa, terkait pengadaan obat, sesuai Permenkes Nomor 5 Tahun 2019 telah disebutkan bahwa, pengadaan obat melalui e-catalogue. Sehingga, dari LKPP memberikan fasilitasi ruang untuk swasta yang masuk dalam fasilitas provider jaminan kesehatan masyarakat. Sesuai Permenkes, dari rumah sakit maupun apotek bekerjasama dengan BPJS itu pembiayaannya melalui purchasing catalogue elektronik. Pasalnya, di dalam catalogue tersebut ada pembeliaan obat akan mendapatkan id yang berasal dari RUP. Terkait dengan RS Budi Rahayu dan RS Djunaid, pihaknya sudah bertanya kepada yang bersangkutan, bahwa pada saat upload, sumber dananya ada 3 pilihan yakni yang bersumber APBD, BLUD dan sumber dana lainnya. Pada saat mengeklik sumber dana lainnya tidak dapat tersimpan. 

“Sudah mengirimkan bantuan ke LPSE support dan belum ada jawaban terkait masalah itu, oleh karena itu, kemarin daripada sumber dana rumah sakit swasta dari APBD, akhirnya diganti BLUD pun tetap salah, dan lebih baik diarahkan ke Swasta murni. RS Budi Rahayu sudah berhasil dan sesuai pasal 22 di Permenkes Nomor 16 ayat 5, apabila terjadi perubahan revisian perlu diumumkan kembali. Dalam hal ini, RS Budi Rahayu sudah tayang kembali di menu swasta. Disini muncul pengadaan obat dan alkes tahun 2022 klik sumber dana lainnya. Terkait aplikasi memang kita tidak bisa mengotak-ngatik karena ini aplikasi given. Kemudian, di dalam aplikasi itu ada kode RUP yang dijadikan id yang harus masuk di pembelian e-purchasing yang dilakukan rumah sakit yang bersangkutan dengan sumber dana rumah sakit itu sendiri. Kalau tidak masuk dalam RUP selamanya tidak akan bisa membeli obat melalui e-purchasing catalogue kesehatan yang dikelola oleh Kemenkes RI dan LKPP,” beber Slamet.

Ketua Umum GNPK-RI Pusat, Basri Utomo mengungkapkan bahwa, awalnya pihaknya melihat ada suatu kejanggalan di dalam aplikasi LKPP Kota Pekalongan, dimana di dalam SIRUP termuat pengadaan obat di RS Djunaid dan RS Budi Rahayu, tetapi sumber anggarannya dari APBD Tahun 2022. Sedangkan, pihaknya menilai, hal itu perlu dipertanyakan. Kemudian, di lain hari, sumber anggaran direvisi menjadi dari BLUD, lain harinya lagi kemudian dihapus. Sehingga, hal tersebut perlu adanya klarifikasi, mengingat aturannya jelas. Dimana, menurutnya Pemerintah Kota Pekalongan tidak boleh memfasilitasi pengadaan obat secara purchasing itu dari Rumah Sakit Swasta, sebab hal ini sudah diatur dalam edaran LKPP. 

“Sudah diatur dalam Permenkes RI Nomor 5 Tahun 2019 dari pasal awal sampai 10 itu sudah jelas. Jadi, kalau rumah sakit swasta itu wajib membeli obat melalui e-catalogue, sehingga melalui e-purchasing,” ucap Basri.

Lanjutnya, untuk mendapatkan akun e-purchasing itu, rumah sakit-rumah sakit swasta yang bekerjasama dengan layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu harus melaporkan RKO (Rencana Kebutuhan Obat) tiap tahun kepada  Menteri Kesehatan. Setelah itu, Menteri Kesehatan nantinya akan mengeluarkan akun e-purchasing pada rumah sakit yang bersangkutan , sehingga bisa langsung belanja melalui e-catalogue dan terhindar dari kekeliruan secara manual. 

“Sementara, yang dilakukan kemarin itu Pemerintah Kota Pekalongan memfasilitasi pembelian purchasing. Tujuannya benar, karena kalau tidak membeli secara e-catalogue, nanti klaim kepada BPJS Kesehatan tidak bisa keluar. Sebab, BPJS Kesehatan dasarnya dari obat-obatan yang terdaftar di e-catalogue tersebut. Dalam aturannya, akunnya sendiri dari kementerian, melalui LPSE Kementerian Kesehatan. Setiap rumah sakit, satu akun, dan tidak boleh diberikan kepada orang lain. Pasca audiensi ini, apapun tadi jawabannya banyak juga hal yang tidak sesuai Saya harapkan, tetapi tidak masalah, yang terpenting Saya sudah meluruskan, ini baru SIRUP menghasilkan perencanaan, belum tentu sudah dilaksanakan, apalagi sudah dihapus ini karena ketentuan e-purchasing harus termuat dalam SIRUP,” tandas Basri.

(Tim Komunikasi Publik Dinkominfo Kota Pekalongan)